Shalat seorang musafir adalah dua rakaat sejak dia keluar dari negerinya sampai dia kembali, karena Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي
الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيْدَ فِي صَلاَةِ
الْحَضَرِ. (متفق عليه)
“Pada awalnya, shalat diwajibkan secara dua rakaat-dua rakaat, baik
pada waktu tidak bersafar, ataupun pada waktu bersafar. Kemudian
dikekalkan (dua rakaat) pada shalat saat bersafar dan ditambah rakaat
bagi shalat yang bukan dalam keadaan bersafar” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنَ الْمَدِيْنَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
رَكْعَتَيْنِ حَتَّ رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا.
(متفق عليه)
“Aku keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Madinah ke Makkah. Beliau menunaikan shalat dua rakaat-dua rakaat,
hingga kami kembali. Aku bertanya, ‘Berapa lama kamu akan tinggal di
Makkah?’ Beliau menjawab, ‘Sepuluh hari’.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Tetapi jika orang yang bersafar itu shalat bersama imam, maka dia
harus menyempurnakan shalat empat rakaat, baik dia menemui shalat dari
awal atau ketinggalan salah satu rakaatnya, karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا أُقِمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ
وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمْ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا. (متفق عليه)
“Apabila shalat telah dimulai, maka janganlah kamu mendatanginya
dengan tergesa-gesa, tetapi hendaklah kamu mendatanginya dalam keadaan
tenang. Shalatlah sekadar yang kamu sempat dan sempurnakanlah rakaat
shalat yang belum ditunaikan.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Keumuman sabda Rasulullah, “Shalatlah sekadar yang kamu sempat dan sempurnakanlah rakaat shalat yang belum ditunaikan”, mencakup para musafir yang shalat di belakang imam yang shalat empat rakaat dan lain-lain. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ditanya, “Mengapa seorang musafir shalat
dua rakaat jika dia shalat sendirian dan empat rakaat jika dia
bermakmum kepada imam yang mukim?” Beliau menjawab, “Itu adalah sunnah.”
Shalat jamaah tidak gugur bagi musafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan shalat berjamaah ketika dalam peperangan, seperti yang difirmankan-Nya,
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum shalat, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (Qs. an-Nisa: 102).
Dengan demikian, seorang musafir yang pergi ke luar daerahnya dia harus menghadiri shalat jamaah di masjid
jika dia mendengar adzan, kecuali jika tempatnya jauh dari suara adzan
itu atau takut ditinggal teman-temannya, karena keumuman dalil yang
menunjukkan kewajiban shalat jamaah atas orang yang mendengarkan adzan atau iqamat.
Sedangkan tentang shalat sunnah rawatib, seorang musafir disunnahkan untuk mengerjakan seluruh shalat sunnah selain shalat sunnah rawatib Dzuhur, Maghrib dan Isya’. Dia boleh mengerjakan shalat Witir, shalat malam, shalat Dhuha, shalat rawatib Subuh dan sebagainya.
Sedangkan mengenai jamak, jika dia sedang dalam perjalanan, maka
sebaiknya dia menjamak antara Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan
Isya’, baik jamak taqdim amupun jamak ta’khir, terserah mana yang mudah baginya, mana yang lebih mudah itu yang lebih baik.
Jika dia sudah singga di suatu tempat sebaiknya tidak menjamak,
tetapi jika dia ingin menjamak, tidak apa-apa karena kedua hal itu
sama-sama diriwayatkan dalam hadits shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan tentang puasa musafir di bulan Ramadhan; sebaiknya seorang musafir tetap berpuasa, tetapi jika dia berbuka maka tidak apa-apa dan dia harus meng-qadha’-nya
di lain hari sesuai dengan jumlah hari yang dia tidak berpuasa. Hanya
saja jika berbuka lebih mudah baginya maka sebaiknya dia berbuka, karena
Allah senang memberikan rukhshah (keringanan) dan alhamdulillah.
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007
Read more about Ibadah by www.konsultasisyariah.com
Post a Comment