Pendapat Ulama yang rojih tentang Zakat Fitrah adalah dengan makanan, banyak riwayat menyebutkan Rasulullah ber-zakat fitri dengan makanan bukan dengan uang, walaupun ada uang Dinar atau Dirham di kala itu akan tetapi Rasulullah dan Para Sahabat tidak melakukannya.
Adapun pendapat yang membolehkan zakat dengan uang, pendapat tersebut
menyelisihi hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Simak
selengkapnya.
Zakat Fitrah Pensuci Jiwa
Zakat
Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui
sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak
pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum muslimin. Namun
tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.
Telah
menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum
seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban
puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan
syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka
akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor
serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan,
HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah:
2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Mengapa disebut Zakat Fitrah?
Sebutan
yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa
demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari
kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib
atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin
Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah”
maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)
Namun
yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut
زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri.
Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan,
karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan
Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan
bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab
musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat.
(Lihat Fathul Bari, 3/367)
Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul
Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari.
Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun
tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa
mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى
وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ
تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma
atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki,
wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk
ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).”
(Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri
3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)
Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:
أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)
Dari
dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi
menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah
wajib.
Dalam
hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah
muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang berpendapat,
hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun
kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang
mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam
sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang
sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan
Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)
Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya
bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun
kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba
sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam
mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu
bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut
tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan
dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban
yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath,
3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336)
Nafi’ mengatakan:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)
Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?
Sebagai
contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim)
berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi
memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi
kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada
pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat
tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.
Apakah Janin Wajib Dizakati?
Jawabnya: tidak.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut
kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik
dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’
tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya
ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat
dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya
janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah
sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai
dengan hadits di atas.
Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila
kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah
itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan
tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak
kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa
yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya
dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia
memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila
sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)
Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:
عَنْ
أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا
نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ …
“Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami
memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1
sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab
Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no.
2280)
Kata
طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri
baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat
ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:
قَالَ
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ
وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Ia mengatakan: ‘Kami
mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id
mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu
kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah
pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya
Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari
Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir
(Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib
li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
(9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
Juga
ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk
makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu
pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)
Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya,
syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak
boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah,
maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk
menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika
menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.
An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku
mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham
-yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah,
menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”
Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat
ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat
Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua:
Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang
wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara
keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’,
5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Pendapat pertama itulah yang kuat. (Yaitu Zakat firah berupa makanan)
Atas
dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang
pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai
wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun
sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang
dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian
itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi
orang kaya.
Ini
merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan:
“Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat.
Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia
mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia
tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah
menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang
kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan
tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan
mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari
jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi
sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan
maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang
perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat
diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh
sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah
ini.
Ukuran yang Dikeluarkan
Dari
hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’
itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa
bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa
tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama
sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan
Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa
Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah
Ada
perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah
(salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’,
sementara yang lain berpendapat ½ sha’.
Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:
عَنْ
هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ
أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ
مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ
بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِي يَـتَبَايَعوْنَ بِهِ
“Dari
Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di
zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau
yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau
sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi
dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh
Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan
Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387)
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani.
Waktu Mengeluarkannya
Menurut
sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya
bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana
dalam hadits yang lalu.
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan
demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum
shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk
mencukupi mereka di hari itu.
Namun
demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian
zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3
hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:
كَانَ
ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ
يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ
“Dulu
Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya [1].
Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375)
Dalam riwayat Malik dari Nafi’:
أَنَّ
عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى
الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Bahwasanya
Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat
dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no. 846)
Sehingga
tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga
yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena
demikianlah praktek para shahabat.
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ
صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor
serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka
barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Ied) maka itu zakat yang
diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu
hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR.
Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah,
2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi
dari dua [2] hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat
sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan
selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang
menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak
ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits
itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta
membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21)
Atas
dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir
setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain
untuk menerimanya.
Sasaran Zakat Fitrah
Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama
mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara
khusus.
Sebagian
lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang
lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini
merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang
dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor
serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini
merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar [3] dan di zaman ini Asy
Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan
lain-lain.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Diantara
petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, zakat ini dikhususkan
bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan
secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak
seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula
orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)
Atas
dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk
pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh
Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).
Definisi Fakir
Para
ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering
bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya
pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan
membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara
ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi
dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat
dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Diantaranya,
bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat
Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari
Imdadul Qari, 1/236-237)
Diantara
alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dahulu menyebut
fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”
Tentu
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam
surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمَّا
السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ
سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal.
Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir
adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi
kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan
setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”
Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka mereka
diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah adalah
pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan
zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu.
Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta
seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di
masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan
fitrah keluarganya kepada satu orang muslim.
Seandainya
mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di
mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu
dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau
dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin.
Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka
tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam,
maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.”
(Majmu’ Fatawa, 25/73-74)
Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?
Telah
diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah
organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang
mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan,
menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah
Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat
fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat
Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan
untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi
itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan
organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah
kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang
fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah
dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya
mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh
berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia.
Apabila
muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk
dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan
sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk
mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379,
ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan
Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal
ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu
hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang
mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran.
Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan
organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti
menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun
terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’
yang dibuat-buat.
Bolehkah Zakat (Secara Umum) Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat?
Pertanyaan tentang ini telah diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah, jawabnya:
Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk mengembangkan harta zakat.
Yang wajib dilakukan adalah menyalurkannya ke tempat-tempat yang syar’i
yang telah disebut dalam nash (Al-Qur’an atau Hadits, -pent.) setelah
mengecek (tempat) penyalurannya kepada orang-orang yang berhak. Karena
tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir dan melunasi
hutang orang-orang yang berhutang. Sementara pengembangan harta zakat
bisa jadi justru menyebabkan hilangnya maslahat ini, atau menundanya
dalam waktu yang lama dari orang-orang yang berhak (sangat
membutuhkannya segera, ed.) (Fatawa Al-Lajnah, 9/454 ditandatangani oleh
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah
Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud)
Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah
Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah:
“Apakah
saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya puasa
Ramadhan di (Saudi Arabia) bagian timur sementara keluarga saya di
(Saudi Arabia) bagian utara?”
Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada.
Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang
bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan. (Fatawa Al-Lajnah,
9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq
Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)
Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber : http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/09/13/zakat-fitrah-berupa-makanan-bukan-dengan-uang-tunai/
Post a Comment